Senin, 28 Desember 2009

Ternyata Panglima Itu Adalah Sebuah Kata

TERNYATA PANGLIMA ITU ADALAH SEBUAH KATA

Pernahkah engkau membayangkan, bagaimana jadinya dunia ini tanpa bahasa, tanpa suara dan tanpa kata-kata. Akan terasa sunyi, senyap, hening, membisu. Namun terkadang sebagian orang malah dengan sengaja menghindar, menjauhkan diri dari keramaian, kebisingan, keributan alam yang penuh dengan bahasa, suara dan kata-kata, hanya untuk mencari sedikit celah dari kedamaian, keheningan, kesunyian hingga berharap alam akan membisu saat itu. Dan iapun dapat membahasakan alam yang membisu dengan kata-kata yang telah dipilihnya dan disusunnya sendiri.
Sebut saja Descartes (1596-1650) yang sengaja menghindari keterikatan atau hubungan erat dalam pergaulan umum, hanya untuk menyendiri, mengasingkan diri agar dapat berfikir jernih dan seutuhnya secara orisinil, dapat merasakan saat-saat turunnya ilham murni yang di perolehnya, hingga dapat mengungkapkan wahyu-wahyu yang di terimanya secara luar biasa jernih. Karena ia begitu membanggakan intelek dan yakin akan daya pikirannya sendiri. Ia seorang pendiam, namun dalam diamnya, ia menjadi tokoh yang revolusioner dahsyat, dengan melontarkan karya-karyanya yang teramat jelas dan dengan bahasa yang bersahaja. Semuanya ia ungkapkan melalui kata-kata yang tersusun indah dan dapat dinikmati oleh semua orang.
Lain Descartes, lain pula Ralph Waldo Emerson (1803-1882), penyair, esais yang selalu dihubung-hubungkan dengan mashab Transendentalis ini di gelari “ filusuf pertama Amerika” pun menarik diri dari hiruk-pikuk keduniawian, mengasingkan diri dari bayang-bayang semu demi mengejar bayang-bayang kebenaran yang ia yakini keberadaannya, hanya karena ia tidak menyukai ritual anakronistik, hingga ia mengundurkan diri menjadi pendeta. Ia pernah di ramal ‘tak bakalan cemerlang’. Lantas dengan kekuatan kata-kata yang dimilikinya ia mampu melawan takdirnya dan menggagas sebuah kaliamat yang mengatakan bahwa “seluruh jagad-raya adalah metafora atau citra pantulan pikiran manusia “ yang ia tuangkan dalam risalah The Uses Of Natural History pada tahun 1833. Seperti Tolstoy, Camus dan banyak pemikir yang sebelah kakinya tertancap di dunia kata yakni dunia sastra, Emerson pun bukan seorang filusuf dalam arti sempit. Bukan pencipta, pembukti, pembenar atau penyangkal sistem-sistem pemikiran tertentu. Ia hanya mencerna dan mengisahkan keterkaitan antara alam raya dengan manusia, manusia dengan yang Ilahi, sebagaimana ia alami sehari-hari dalam kesendirian dan keterasingannya. Ia menuturka sendiri dengan kata-katanya bahwa “saya ini pembaca alamiah, dan hanya menjadi penulis lantaran langkanya penulis alamiah. Di zaman kelimpahan saya takkan mungkin menulis”. Dan Emerson pun memulai debut ketenarannya melalui kata-katanya yang syarat akan makna hingga mendunia.
Setelah itu kita bertemu dengan seorang “raksasa” yang lebih kontemporer; John Dewey (1859). Umumnya Dewey dianggap sebagai filusuf dan pembaharu pendidikan yang terbesar sepanjang abad ke-20. Dalam intelektualisme pendidikan, John Dewey adalah raksasa Liberalisme pendidikan. Sebagai peletak pondasi ‘Progresifisme Pendidikan’ (pendidikan progresif). Semua gagasannya mempengaruhi pendidikan. Dewey-lah yang paling jernih membeberkan kerumitan reformasi pendidikan. Meski tak ada yang menyangkal bahwa Dewey merupakan tonggak penting pendidikan abad ke-20, namun sosok pribadinya tergolong ‘misterius’, tidak jelas saking kompleksnya. Kepiawaiannya dalam mengolah kata-kata, mengantarkannya menjadi juru bicara kaum liberal. Peran Dewey sangat penting, bukan hanya berdasarkan apa yang ia katakan, tapi juga menurut apa yang konon ia katakan, atau tafsiran orang atas ungkapan gagasan-gagasannya. Dewey menghabiskan sisa hidupnya dengan melindungi diri dari kesalah-tafsiran orang terhadap gagasan-gagasannya. Dan dengan kekuatan kata-katanya John Dewey pun menjadi raksasa dalam intelektualisme pendidikan.
Dan masih banyak lagi para tokoh, pemikir yang memiliki kepiawaian dalam mengolah kata, menjadi kata yang dapat mengubah dan menggerakkan dunia. Tidakkah kita dapat merenung dari kisah-kisah orang besar yang dengan menggunakan kekuatan kata-katanya mampu mengubah dunia, dapat dikenang sepanjang masa. Dan dengan kekuatan kata-katanya pula mengantarkan mereka menjadi orang-orang yang di perhitungkan dunia. Ternyata hanya dengan sebuah kata, mereka dapat menggerakkan dan mengubah dunia. Hanya dari kata-kata yang dikeluarkan melalui lisannya dapat diketahui tingkat keilmuan dan keintelektualan seseorang. Sejajar dengan ungkapan pepatah yang mengatakan “seseorang itu dilihat dari tutur kata dan budi bahasanya”. Maka tidak salah kalau dikatakan bahwa panglima itu adalah sebuah kata.


Referensi:
-. Ahmad Tafsir. Filsafat umum akal dan hati sejak Thales sampai Capra. Rosdakarya. Bandung. 2003.
-. Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu kualitatif & kuantitatif untuk pengembangan ilmu dan penelitian. Rake Sarasin. Yogyakarta. 2006.
-. Paulo Freire, Ivan Illich dkk. Menggugat Pendidikan fundamentalis, konservatif, liberal, anarkis. Pustaka Pelajar. 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar