Rabu, 28 April 2010

Individual Differences In Learning Math (Mengajar Untuk Gaya Belajar Yang Berbeda)

MENGAJAR UNTUK BERBAGAI GAYA BELAJAR
Tak dapat diragukan lagi bahwa setiap siswa datang dengan ciri khas mereka masing-masing dan latar belakang yang berbeda, baik itu dari segi ekonomi, sosial, budaya, skill, intelegensi maupun motivasi. Keragaman siswa tersebut merupakan suatu dimensi yang memang penting dalam pengajaran, dan keragaman tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengruhi gaya belajar mereka dalam memecahkan tugas-tugas pembelajaran dan pemecahan masalah terutama dalam pembelajaran matematika, keragaman itulah yang membuat pengajaran menjadi lebih menantang dan menarik. Seperti yang diungkapkan Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009: 279), mengenai gaya belajar yang juga disebut sebagai gaya kognitif perlu mendapat perhatian dari para pengajar. Dikarenakan gaya belajar masing-masing siswa yang berbeda akan berdampak pada sistem pembelajaran yang diterapkan. Pada bagian ini tentu kita dapat melihat hal-hal yang berbeda ternyata juga turut memengaruhi pengajaran. Muijs dan Reynolds (2008).Bagaimana menangani begitu banyaknya perbedaan diantara para siswa di kelas merupakan salah satu aspek yang paling kontroversial dalam pengajaran. Lebih jauh Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009), menjelaskan, untuk menghadapi tantangan ini pengajar memerlukan beragam strategi pengajaran yang dirancang untuk mengakomodasi keragaman ini. Pendidikan multikultural berusaha untuk memberdayakan kekuatan siswa untuk membantu mereka yang datang dari latar belakang dan kemampuan yang beragam agar mencapai level yang tertinggi atau prestasi yang tinggi.
Penelitian awal perbedaan individual dalam hal kemampuan didasarkan pada teori bahwa orang memiliki suatu “kecerdasan global” yang d ianggap sebagai prediktor yang akurat untuk kinerja diberbagai pelajaran sekolah. Tetapi pandangan ini semakin banyak mendapat tantangan. Peneliltian menunjukkan, misalnya bahwa siswa-siswa dapat menunjukkan tingkat prestasi yang berbeda di pelajaran yang berbeda, sehingga menantang pandangan tentang keunggulan inteligensi global atau IQ (Gould, 1996). Hal itu yang telah menyebabkan lahirnya teori inteligensi ganda termasuk kecerdasan emosional, kecerdasan verbal, dan kecerdasan spasial (ruang) yang kesemuanya penting bagi kehidupan manusia (Gardner, 1983). Kolb (1973) mengemukakan semakin banyak yang mulai memfokuskan diri dalam gaya belajar, yang dianggap memengaruhi preferensi cara belajar orang. Misalnya sebagian siswa lebih menyukai pendekatan visual dan sebagian lainnya menyukai pendekatan verbal dalam belajar (Muijs & Reynolds, 2008).
Salah satu teori tentang perbedaan gaya belajar adalah teori yang dikemukakan Dunn and Dunn. Menurut teori ini, pelajar dapat diklasifikasikan lebih menyukai belajar visual, auditorik, atau taktil/kinestetik (Dunn dan Dunn, 1978; Benzwie, 1987). Ada yang menambahkan golongan siswa yang lebih menyukai belajar melalui tulisan, belajar secara interaktif, dan belajar olfactory atau memalui penciuman. Hodges (1994) menyebutkan perbedaan siswa deduktif dan induktif juga mendapat perhatian oleh para peneliti gaya belajar. Perbedaan terakhir yang terkadang disebutkan adalah antara siswa sekuensial dan global. Berikut penjelasannya dari Muijs dan Reynolds (2008):
a) siswa visual: paling baik dalam melihat gambar, grafik, slides, demonstrasi, film, dan lain-lain. Grafis warna-warni dapat membantu mereka menyimpan informasi. b) siswa auditorik. c) siswa kinestetik. d) siswa berorientasi- tulisan. e) siswa interaktif. f) siswa olfactori. g) siswa deduktif. h) siswa induktif. i) siswa sekuensial. j) siswa global.
Selain gaya belajar yang dikaji Dunn, dari teori belajar yang dipaparkan Kolb, oleh Litzinger dan Osif (1993) memberi kesimpulan dengan menyebut tipe-tipe siswa yang berbeda ini dengan sebutan:
Akomodator: yang lebih menyukai gaya belajar aktif. Cenderung lebih pada ke intuisi daripada logika dan senang menghubungkan belajar dengan makna dan pengalaman pribadi. Lebih menyukai situasi yang riil seperti matematika realistik dan tidak terlalu senang menganalisa seperti analisis atau pembuktian rumus dalam matematika. Untuk siswa tipe ini, pengajar disarankan untuk mendorong penemuan mandiri dan membiarkan mereka berpartisipasi aktif dalam pembelajarannya. Aspek interpersonal penting bagi akomodator. Jadi mereka cenderung menikmati belajar kooperatif dan kerja kelompok.
Asimilator: menyukai penemuan pengetahuan yang akurat dan terorganisasi serta cenderung menghormati pandangan orang-orang yang dianggapnya pakar dalam hal itu. Siswa seperti ini berfikir secara logis dan lebih menyukai ide-ide abstrak seperti memecahkan atau menganalisis data, rumus- rumus dan ilmu logika dan penelitian mandiri. Logika dianggap lebih penting dari pada praktis. Mereka lebih menyukai gaya belajar seperti perkuliahan atau latihan-latihan yang disiapkan dengan cara seksama yang akan mereka ikuti dengan tekun.
Konverger: terutama tertarik pada relevansi informasi. Mereka ingin memahami secara terinci bagaimana suatu bekerja, sehingga mereka dapat mempraktikkannya sendiri. Pelajar tipe ini lebih menyukai informasi teknis dan tidak terlalu tertarik dengan isu-isu sosial dan interpersonal. Pelajaran yang cocok untuk mereka adalah pelajaran yanng interaktif, dan akan ada gunanya mereka diberikan masalah-masalah riil untuk dieksplorasi.
Diverger: terutama tertari pada aspek mengapa dari sebuah sistem. Mereka suka menalar berdasarkan informasi yang specifik dan kongkrit dan mengeksplorasi apa yang dapat ditawarkan sistem. Siswa tipe ini senang menggunakan imajinasi pada saat menyelesaikan masalah, menikmati belajar yang self-directed dan suka belajar mandiri, simulasi , bermain peran dalam matematika mungkin lebih cocok dalam maslah yang bersifat open ended. Informasi harusnya disuguhkan pada mereka secara terinci dan sisitematik.
Guilford (Suryabrata, 2010: 165) juga memasukkan konvergen dan divergen sebagai faktor yang mempengaruhi dimensi intelektual dari tiga dimensi pokok yang mencakup bakat. Mendapati kenyataan bahwa setiap siswa memiliki perbedaan dalam gaya belajar maupun kemampuan, menuntut para pengajar untuk bisa menangani perbedaan tersebut karena perbedaan tersebut dapat memengaruhi praktik pengajaran di kelas. pengajar dapat menggunakan cara yang direkomendasikan Muijs dan Renolds (2008) dalam menangani perbedaan siswa di kelas.
Seleksi: metode tradisional yang dapat digunakan untuk menghadapi kenyataan bahwa siswa memiliki kemampuan yang berbeda, yakni dengan melakukan seleksi. Ide ini didasari oleh pandangan bahwa kemampan siswa bersifat unidimensional dan sekaligus tetap. Semakin jelas sekarang bahwa kecerdasan adalah sebuah konsep multidimensional.
Streaming: adalah sebuah prosedur dimana siswa dipisahkan ke berbagai kelas yang berbeda sesuai kemampuannya di sekolah. Meskipun secara teoritik streaming dirancang untuk mengajar siswa sesuai tingkat kemampuannya, pada praktiknya cara ini akan semakin memperlebar kesenjangan antara strem yang tinggi dan rendah, sehingga akan memunculkan isu keadilan.
Setting: berlawanan dengan streaming, di dalam setting siswa ditempat ke kelompok-kelompok “berkemampuan sama” dari pelajaran ke pelajaran. Di dalam Setting siswa diakui keberadaan tingkatannya diberbagai macam pelajaran yang berbeda. Jadi tergantung hasil-hasil yang diperolehnya, seorang siswa dapat berada di kelompok teratas pada pelajaran matematika dan di kelompok rendah dalam pelajaran yang lain.
Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009) menyimpulkan, siswa merupakan individu-individu yang kompleks dan beraneka ragam yang perlu diperlakukan dengan sensitivitas dan diajar dengan berbagai macam metode. Muijs dan Reynold (2008: 298), dari berbagai metode, sistem, maupun pendekatan cara mengajar pada siswa yang memiliki perbedaan dalam gaya belajar metode setting dapat membuat pengajaran lebih mudah, karena perampingan rentang kemampuan di pelajaran akan membuat pengajar tidak banyak mengalami kesulitan untuk menetapkan tingkat kesulitan yanng tepat untuk pelajaran yang diampunya.
Disisi lain, meskipun konsep ini sering dikemukakan, tetapi apa yang dimaksud denga gaya belajar tidak selalu jelas. Untuk membantu para pengajar agar dapat membedakan perbedaan gaya belajar siswa sehingga dapat memberikan perlakuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan atau gaya belajar mereka. Maka berikut beberapa teori gaya belajar dari para ahli. Teori gaya belajar Kolb
Salah satu teori gaya belajar yang paling jelas penguraiannya adalah teori kolb (1995), yang mengatakan bahwa gaya belajar dapat diperingkat disepanjang kontinum mulai dari:
1. Pengalaman kongkret yang terlibat dalam sebuah pengalaman baru, melalui
2. Obsevasi reflektif (mengamati orang lain atau mengembangkan pengalaman sendiri), dan
3. Konseptualisasi abstrak (menciptakan teori untuk menjelaskan observasi), untuk melakukan
4. Eksperimentasi aktif (dengan menggunakan berbagai teori untuk mengambil masalah dan menngambil keputusan)
Teori-teori belajar yang lebih mutakhir mengkonseptualisasikan gaya-gaya ini sebagai gaya yang lebih disukai dan lebih dipercaya oleh pelajar, Muijs dan Reynold (2008) menyimpulkan, oleh sebab itu kebanyakan dari para siswa lebih menyukai salah satu dari keempat gaya di atas. Litzinger dan Osif (1993) menyebut tipe-tipe pelajar yang bebeda


Daftar pustaka:
Jacobsen, D.A, Eggen,P., & Kauchak, D. (2009). Methods for Teaching; metode-metode pengajaran meningkatkan belajar siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 278-283.
Muijs, D. And Reynolds, D. (2008). Effective Teaching; Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 291-300.
Suryabrata Sumadi. (2010). Psikologi pendidikan. Jakarta: Raja grafindo Persada. 159- 165.
Shumway, R.J. (1980). Research In Mathematics Education. Ohio State University.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar