MENGAJAR UNTUK BERBAGAI GAYA BELAJAR
Tak dapat diragukan lagi bahwa setiap siswa datang dengan ciri khas mereka masing-masing dan latar belakang yang berbeda, baik itu dari segi ekonomi, sosial, budaya, skill, intelegensi maupun motivasi. Keragaman siswa tersebut merupakan suatu dimensi yang memang penting dalam pengajaran, dan keragaman tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengruhi gaya belajar mereka dalam memecahkan tugas-tugas pembelajaran dan pemecahan masalah terutama dalam pembelajaran matematika, keragaman itulah yang membuat pengajaran menjadi lebih menantang dan menarik. Seperti yang diungkapkan Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009: 279), mengenai gaya belajar yang juga disebut sebagai gaya kognitif perlu mendapat perhatian dari para pengajar. Dikarenakan gaya belajar masing-masing siswa yang berbeda akan berdampak pada sistem pembelajaran yang diterapkan. Pada bagian ini tentu kita dapat melihat hal-hal yang berbeda ternyata juga turut memengaruhi pengajaran. Muijs dan Reynolds (2008).Bagaimana menangani begitu banyaknya perbedaan diantara para siswa di kelas merupakan salah satu aspek yang paling kontroversial dalam pengajaran. Lebih jauh Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009), menjelaskan, untuk menghadapi tantangan ini pengajar memerlukan beragam strategi pengajaran yang dirancang untuk mengakomodasi keragaman ini. Pendidikan multikultural berusaha untuk memberdayakan kekuatan siswa untuk membantu mereka yang datang dari latar belakang dan kemampuan yang beragam agar mencapai level yang tertinggi atau prestasi yang tinggi.
Penelitian awal perbedaan individual dalam hal kemampuan didasarkan pada teori bahwa orang memiliki suatu “kecerdasan global” yang d ianggap sebagai prediktor yang akurat untuk kinerja diberbagai pelajaran sekolah. Tetapi pandangan ini semakin banyak mendapat tantangan. Peneliltian menunjukkan, misalnya bahwa siswa-siswa dapat menunjukkan tingkat prestasi yang berbeda di pelajaran yang berbeda, sehingga menantang pandangan tentang keunggulan inteligensi global atau IQ (Gould, 1996). Hal itu yang telah menyebabkan lahirnya teori inteligensi ganda termasuk kecerdasan emosional, kecerdasan verbal, dan kecerdasan spasial (ruang) yang kesemuanya penting bagi kehidupan manusia (Gardner, 1983). Kolb (1973) mengemukakan semakin banyak yang mulai memfokuskan diri dalam gaya belajar, yang dianggap memengaruhi preferensi cara belajar orang. Misalnya sebagian siswa lebih menyukai pendekatan visual dan sebagian lainnya menyukai pendekatan verbal dalam belajar (Muijs & Reynolds, 2008).
Salah satu teori tentang perbedaan gaya belajar adalah teori yang dikemukakan Dunn and Dunn. Menurut teori ini, pelajar dapat diklasifikasikan lebih menyukai belajar visual, auditorik, atau taktil/kinestetik (Dunn dan Dunn, 1978; Benzwie, 1987). Ada yang menambahkan golongan siswa yang lebih menyukai belajar melalui tulisan, belajar secara interaktif, dan belajar olfactory atau memalui penciuman. Hodges (1994) menyebutkan perbedaan siswa deduktif dan induktif juga mendapat perhatian oleh para peneliti gaya belajar. Perbedaan terakhir yang terkadang disebutkan adalah antara siswa sekuensial dan global. Berikut penjelasannya dari Muijs dan Reynolds (2008):
a) siswa visual: paling baik dalam melihat gambar, grafik, slides, demonstrasi, film, dan lain-lain. Grafis warna-warni dapat membantu mereka menyimpan informasi. b) siswa auditorik. c) siswa kinestetik. d) siswa berorientasi- tulisan. e) siswa interaktif. f) siswa olfactori. g) siswa deduktif. h) siswa induktif. i) siswa sekuensial. j) siswa global.
Selain gaya belajar yang dikaji Dunn, dari teori belajar yang dipaparkan Kolb, oleh Litzinger dan Osif (1993) memberi kesimpulan dengan menyebut tipe-tipe siswa yang berbeda ini dengan sebutan:
Akomodator: yang lebih menyukai gaya belajar aktif. Cenderung lebih pada ke intuisi daripada logika dan senang menghubungkan belajar dengan makna dan pengalaman pribadi. Lebih menyukai situasi yang riil seperti matematika realistik dan tidak terlalu senang menganalisa seperti analisis atau pembuktian rumus dalam matematika. Untuk siswa tipe ini, pengajar disarankan untuk mendorong penemuan mandiri dan membiarkan mereka berpartisipasi aktif dalam pembelajarannya. Aspek interpersonal penting bagi akomodator. Jadi mereka cenderung menikmati belajar kooperatif dan kerja kelompok.
Asimilator: menyukai penemuan pengetahuan yang akurat dan terorganisasi serta cenderung menghormati pandangan orang-orang yang dianggapnya pakar dalam hal itu. Siswa seperti ini berfikir secara logis dan lebih menyukai ide-ide abstrak seperti memecahkan atau menganalisis data, rumus- rumus dan ilmu logika dan penelitian mandiri. Logika dianggap lebih penting dari pada praktis. Mereka lebih menyukai gaya belajar seperti perkuliahan atau latihan-latihan yang disiapkan dengan cara seksama yang akan mereka ikuti dengan tekun.
Konverger: terutama tertarik pada relevansi informasi. Mereka ingin memahami secara terinci bagaimana suatu bekerja, sehingga mereka dapat mempraktikkannya sendiri. Pelajar tipe ini lebih menyukai informasi teknis dan tidak terlalu tertarik dengan isu-isu sosial dan interpersonal. Pelajaran yang cocok untuk mereka adalah pelajaran yanng interaktif, dan akan ada gunanya mereka diberikan masalah-masalah riil untuk dieksplorasi.
Diverger: terutama tertari pada aspek mengapa dari sebuah sistem. Mereka suka menalar berdasarkan informasi yang specifik dan kongkrit dan mengeksplorasi apa yang dapat ditawarkan sistem. Siswa tipe ini senang menggunakan imajinasi pada saat menyelesaikan masalah, menikmati belajar yang self-directed dan suka belajar mandiri, simulasi , bermain peran dalam matematika mungkin lebih cocok dalam maslah yang bersifat open ended. Informasi harusnya disuguhkan pada mereka secara terinci dan sisitematik.
Guilford (Suryabrata, 2010: 165) juga memasukkan konvergen dan divergen sebagai faktor yang mempengaruhi dimensi intelektual dari tiga dimensi pokok yang mencakup bakat. Mendapati kenyataan bahwa setiap siswa memiliki perbedaan dalam gaya belajar maupun kemampuan, menuntut para pengajar untuk bisa menangani perbedaan tersebut karena perbedaan tersebut dapat memengaruhi praktik pengajaran di kelas. pengajar dapat menggunakan cara yang direkomendasikan Muijs dan Renolds (2008) dalam menangani perbedaan siswa di kelas.
Seleksi: metode tradisional yang dapat digunakan untuk menghadapi kenyataan bahwa siswa memiliki kemampuan yang berbeda, yakni dengan melakukan seleksi. Ide ini didasari oleh pandangan bahwa kemampan siswa bersifat unidimensional dan sekaligus tetap. Semakin jelas sekarang bahwa kecerdasan adalah sebuah konsep multidimensional.
Streaming: adalah sebuah prosedur dimana siswa dipisahkan ke berbagai kelas yang berbeda sesuai kemampuannya di sekolah. Meskipun secara teoritik streaming dirancang untuk mengajar siswa sesuai tingkat kemampuannya, pada praktiknya cara ini akan semakin memperlebar kesenjangan antara strem yang tinggi dan rendah, sehingga akan memunculkan isu keadilan.
Setting: berlawanan dengan streaming, di dalam setting siswa ditempat ke kelompok-kelompok “berkemampuan sama” dari pelajaran ke pelajaran. Di dalam Setting siswa diakui keberadaan tingkatannya diberbagai macam pelajaran yang berbeda. Jadi tergantung hasil-hasil yang diperolehnya, seorang siswa dapat berada di kelompok teratas pada pelajaran matematika dan di kelompok rendah dalam pelajaran yang lain.
Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009) menyimpulkan, siswa merupakan individu-individu yang kompleks dan beraneka ragam yang perlu diperlakukan dengan sensitivitas dan diajar dengan berbagai macam metode. Muijs dan Reynold (2008: 298), dari berbagai metode, sistem, maupun pendekatan cara mengajar pada siswa yang memiliki perbedaan dalam gaya belajar metode setting dapat membuat pengajaran lebih mudah, karena perampingan rentang kemampuan di pelajaran akan membuat pengajar tidak banyak mengalami kesulitan untuk menetapkan tingkat kesulitan yanng tepat untuk pelajaran yang diampunya.
Disisi lain, meskipun konsep ini sering dikemukakan, tetapi apa yang dimaksud denga gaya belajar tidak selalu jelas. Untuk membantu para pengajar agar dapat membedakan perbedaan gaya belajar siswa sehingga dapat memberikan perlakuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan atau gaya belajar mereka. Maka berikut beberapa teori gaya belajar dari para ahli. Teori gaya belajar Kolb
Salah satu teori gaya belajar yang paling jelas penguraiannya adalah teori kolb (1995), yang mengatakan bahwa gaya belajar dapat diperingkat disepanjang kontinum mulai dari:
1. Pengalaman kongkret yang terlibat dalam sebuah pengalaman baru, melalui
2. Obsevasi reflektif (mengamati orang lain atau mengembangkan pengalaman sendiri), dan
3. Konseptualisasi abstrak (menciptakan teori untuk menjelaskan observasi), untuk melakukan
4. Eksperimentasi aktif (dengan menggunakan berbagai teori untuk mengambil masalah dan menngambil keputusan)
Teori-teori belajar yang lebih mutakhir mengkonseptualisasikan gaya-gaya ini sebagai gaya yang lebih disukai dan lebih dipercaya oleh pelajar, Muijs dan Reynold (2008) menyimpulkan, oleh sebab itu kebanyakan dari para siswa lebih menyukai salah satu dari keempat gaya di atas. Litzinger dan Osif (1993) menyebut tipe-tipe pelajar yang bebeda
Daftar pustaka:
Jacobsen, D.A, Eggen,P., & Kauchak, D. (2009). Methods for Teaching; metode-metode pengajaran meningkatkan belajar siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 278-283.
Muijs, D. And Reynolds, D. (2008). Effective Teaching; Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 291-300.
Suryabrata Sumadi. (2010). Psikologi pendidikan. Jakarta: Raja grafindo Persada. 159- 165.
Shumway, R.J. (1980). Research In Mathematics Education. Ohio State University.
Rabu, 28 April 2010
Rabu, 07 April 2010
melejitkan potensi diri dengan memotivasi jiwa
Olah dan rangkai potensi menjadi prestasi
Siapkan diri, fokuskan akal dan pikiran
Gunakan otak kanan dan kiri untuk memasuki petualangan mendebarkan
Gunakan semua otak untuk mencapai tujuan
(Solikhin Abu Izzuddin: 2009 )
Haidst Rasulullah. Saw, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengenal dirinya sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya.”
Berangkat dari hadist di atas. Timbul pertanyaan:
1. Apakah kita benar-benar telah mengenal diri kita sendiri?
2. Lalu bagaimana cara mengenal diri sendiri?
Tentu ada beragam jawaban yang akan didapatkan seputar pertanyaan di atas. Esensinya, mengenal diri sendiri bukan hanya mengenal diri secara fisiknya saja seperti mengenal nama, alamat, tanggal lahir, orang tua, jumlah saudara dan sebagainya, namun mengenali diri secara psikologi justru itu yang terpenting. Mengenali diri berarti menilai diri sejauh mana kita mengetahui hal-hal yang terkait dengan pribadi kita baik dari segi zahirnya maupun batin. Fenomena sekarang justru kebanyakan generasi muda tidak sepenuhnya mengenal diri sendiri bahkan yang lebih parah justru tidak mengenal diri sendiri sama sekali. Na’udzubillah...
Usia remaja dari 12-20 tahun atau yang disebut juga oleh Ericson pakar psikologi perkembangan sebagai tahapan endolesen merupakan usia yang rentan karena pada dasarnya pada usia ini kebanyakan mereka belum sepenuhnya mengenali diri sendiri. Pada pase perkembangan inilah terjadi puncak pencarian identitas diri mereka berjuang menemukan siapa dirinya. Sehingga masa remaja terkadang disebut sebagai masa pencarian jati diri.
Matta (2004) membantu kita dalam menguraikan makna dari mengenali diri yang ia sebut sebagai menilai diri sendiri, seperti yang ia katakan. Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dalam keterampilan jiwa yang dimiliki seseorang. Dan tidak semua orang mau mengasah jiwanya untuk terampil hingga dapat menilai sisi sisi positif dan negatif pada dirinya sendiri.
Untuk menemukan jati diri remaja cenderung akan mencari sosok yang dapat mereka kagumi atau yang mereka idolakan untuk dijadikan sebagai panutan. Tentunya yang dikhawatirkan adalah remaja yang salah dalam memilih idola sebagai panutan dan lahirlah generasi beo inilah yang disebut sebagai krisi jati diri yang dapat membahayakan. Jika sudah banyak generasi muda yang mengalami penyakit krisis jati diri atau bahkan tidak mengenali diri mereka sendiri maka ucapkanlah innalillahiwainna ilaihiraji’un terhadap peradaban ini. Karena itu merupakan pertanda kehancuran dari sebuah peradaban.
Lantas bagaimana dengan generasi muslim kita?.
Peradaban Islam kita.?
Temukan jawabannya pada kedalaman hati kita masing-masing.! Bagadav Gita membantu kita menemukan jawabannya dengan mengatakan bahwa manusia dibentuk dari keyakinannya, apa yang ia yakini itulah dia. Selaras dengan hadis Rasulullah yang artinya “Sesungguhnya Allah itu akan berlaku seperti sangkaan hambanya”. Ketika kita yakin pada diri sendiri dengan kemampuan yang dimiliki, dengan sendirinya sepirit kesuksesan akan tertanam dalam jiwa. Begitu pula sebaliknya. Walt Disney menambahkan, jika anda dapat memimpikannya anda pun dapat melakukannya. Maka, kata koncinya adalah yakin atas potensi yang diberikan Allah pada diri kita, lakukan yang terbaik untuk menggalinya dan berikan yang terbaik ketika mengasahnya.
Lalu tanyakan kembali keyakinan anda.! Sejauh mana anda meyakini potensi anda?.
Ada rambu-rambu yang diberikan Matta (2004) yang perlu diperhatikan ketika potensi yang dimiliki telah diketahui yakni berhati-hati dalam melakukan identifikasi diri. Jangan melakukan identifikasi diri yang salah dan jangan menilai diri sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Kita dapat belajar dari cara para khalifah zaman Abbasiyah menilai diri mereka. Mereka mengatakan:
“Saya tidak pernah bangga pada setiap prestasi yang saya capai, tapi yang sebenarnya tidak saya rencanakan. Tetapi saya juga tidak menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya”
Hal yang perlu digaris bawahi dalam ungkapan para khalifah zaman Abbasiyah di atas adalah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya. Tepat jika Jack Trout mengatakan “Tak ada satupun orang yang akan mengikuti anda jika anda tidak tahu kemana harus melangkah”. Untuk mengetahui kemana harus melangkah tentu dibutuhkan alat yang dapat membantu kita agar dapat sampai pada tujuan dan hal yang paling urgen adalah mempersiapkan diri serta menguatkan motivasi sebelum melangkah. Mengetahui arah tujuan kemana dengan jelas serta menggunakan alat-alat bantu yang dipersiapkan seperti peta dan kompas agar tidak tersesat ditengah perjalanan dan selamat sampai tujuan, dan tentunya dengan bekal motivasi yang kuat. Untuk menyelamatkan hambanya dari ketersesatan jauh sebelumnya Allah telah menyiapkan petanya yakni Al-Qur’an dan Rasulullah memberikan kompasnya berupa hadist dan tugas kitalah menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya.
Orientasi perjalanan seorang mukmin di dunia ini tentunya adalah untuk kehidupan setelah matinya. Oleh karena itu kontrol dan evaluasilah diri (muhasabah). Ustaz Annis Matta dalam buku Mencari Pahlawan Indonesia mengatakan orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Karena hidup ini begitu singkat, oleh karena itu wahai generasi muda janganlah membuatnya menjadi semakin singkat dengan melakukan sesuatu yang sia-sia. Gunakan kesempatanmu untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi ummat, kerahkan segenap kemampuamu untuk memberikan yang terbaik bagi ummat. Sesungguhnya setiap kita berpotensi menjadi sempurna, karena Allah telah membekali dengan akal dan ilmu. Dengan bekal itulah kita dapat melejitkan potensi yang kita miliki kemudian menggiringnya menuju batas maksimum dari momentum kehidupan kita agar kita menjadi manusia yang sempurna.
Manakah yang anda pilih menjadi orang biasa, ataukah menjadi sempurna?
Tidak ada manusia yang sempurna, memang itu kenyataannya. Yusuf Qardhawi menjelaskan, kesempurnaan itu ukurannya tidak bersifat kuantitatif namun bersifat psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al-Qur’sn disebut menjelang putus asa. Ukuran kesempurnaan adalah batas maksimum dari kemampuan setiap individu untuk berkembang. Maka, bergerak menuju kesempurnaan adalah bergerak menuju batas maksimum itu.
Masalahnya disini tidak banyak orang yang mau memaksimalkan potensinya karena tak sanggup menjadi sempurna padahal ia mampu melakukannya. Abu Tamam seorang penyair Arab mengatakan, tidak ada aib yang aku temukan dalam diri seorang manusia, melebihi aib orang yang sanggup menjadi sempurna, namun tidak mau menjadi sempurna.
Jika semua generasi muslim memilih menjadi orang biasa saja, yang hidupnya lebih santai bahkan nyaris tanpa beban, tanpa sorotan, tanpa stres, tanpa depresi. Lantas siapa yang akan menggerakkan peradaban, melakukan perombakan, mewujudkan perubahan?
Sebagai renungan, ustaz Annis Matta memberikan perincian mengenai orang biasa dan yang luar biasa.
Menjadi Orang biasa: merupakan godaan bagi mereka yang berpotensi menjadi luar biasa. Inilah yang membuat air kecemerlangan dalam dirinya hanya keluar dan kemudian tergenang. Dan dimanapun ada genangan air, di situ selalu ada kemungkinan pembusukan. Air itu tidak menggelombang maka tidak ada debur kehebatan dalam dirinya. Air itu tergenang teduh dan dalam keteduhannya ia tersedot oleh cahaya matahari kehidupan. Maka ia mengering dan habis. Atau ia terkotori oleh sampah yang terbuang dalam genangan itu, maka ia mengeruh dan kemudian membusuk.
Menjadi yang luar biasa (pahlawan): mereka adalah sungai yang mengalir deras atau air yang menggelombang dahsyat. Semua potensi dalam dirinya keluar satu persatu. Semua kehebatan dirinya menggelora ke permukaan bagai gelombang. Semua gelombang (potensi) dalam dirinya bertiup kencang bagai badai. Ia menantang kehidupan, maka ia mengukir sejarah sebab sejarah adalah catatan petualangan hidup. Ia mengejar dan menangkap takdirnya, maka ia mendapatkan mahkotanya.
Sekarang.
Pilihan ada di tangan anda..!
motivasi dari sahabat-sahabatku.
Mereka yang sempurna dan mulia
Adalah mereka yang diharapkan kebaikannya
Orang merasa anam dari keburukannya
Yang selalu memberi manfaat buat orang lain
Dan menjauhkan orang lain
Dari keburukan prilakunya
Kami mendoakanmu
Semoga engkaulah itu
Para pemburu syurga..
Tidak akan berhenti pada tahap mimpi
Ada asa yang harus diwujudkan
Ada pngorbanan yang harus dikeluarkan
Dan,..
Ada karya nyata yang harus dipersembahkan
Keindahan perjuangan adalah ketika kita menyadari
Akan beratnya perjuangan
Lalu,..
Menorehnya dengan pena kesabaran
Dalam lembar-lembar keikhlasan
Siapkan diri, fokuskan akal dan pikiran
Gunakan otak kanan dan kiri untuk memasuki petualangan mendebarkan
Gunakan semua otak untuk mencapai tujuan
(Solikhin Abu Izzuddin: 2009 )
Haidst Rasulullah. Saw, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengenal dirinya sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya.”
Berangkat dari hadist di atas. Timbul pertanyaan:
1. Apakah kita benar-benar telah mengenal diri kita sendiri?
2. Lalu bagaimana cara mengenal diri sendiri?
Tentu ada beragam jawaban yang akan didapatkan seputar pertanyaan di atas. Esensinya, mengenal diri sendiri bukan hanya mengenal diri secara fisiknya saja seperti mengenal nama, alamat, tanggal lahir, orang tua, jumlah saudara dan sebagainya, namun mengenali diri secara psikologi justru itu yang terpenting. Mengenali diri berarti menilai diri sejauh mana kita mengetahui hal-hal yang terkait dengan pribadi kita baik dari segi zahirnya maupun batin. Fenomena sekarang justru kebanyakan generasi muda tidak sepenuhnya mengenal diri sendiri bahkan yang lebih parah justru tidak mengenal diri sendiri sama sekali. Na’udzubillah...
Usia remaja dari 12-20 tahun atau yang disebut juga oleh Ericson pakar psikologi perkembangan sebagai tahapan endolesen merupakan usia yang rentan karena pada dasarnya pada usia ini kebanyakan mereka belum sepenuhnya mengenali diri sendiri. Pada pase perkembangan inilah terjadi puncak pencarian identitas diri mereka berjuang menemukan siapa dirinya. Sehingga masa remaja terkadang disebut sebagai masa pencarian jati diri.
Matta (2004) membantu kita dalam menguraikan makna dari mengenali diri yang ia sebut sebagai menilai diri sendiri, seperti yang ia katakan. Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dalam keterampilan jiwa yang dimiliki seseorang. Dan tidak semua orang mau mengasah jiwanya untuk terampil hingga dapat menilai sisi sisi positif dan negatif pada dirinya sendiri.
Untuk menemukan jati diri remaja cenderung akan mencari sosok yang dapat mereka kagumi atau yang mereka idolakan untuk dijadikan sebagai panutan. Tentunya yang dikhawatirkan adalah remaja yang salah dalam memilih idola sebagai panutan dan lahirlah generasi beo inilah yang disebut sebagai krisi jati diri yang dapat membahayakan. Jika sudah banyak generasi muda yang mengalami penyakit krisis jati diri atau bahkan tidak mengenali diri mereka sendiri maka ucapkanlah innalillahiwainna ilaihiraji’un terhadap peradaban ini. Karena itu merupakan pertanda kehancuran dari sebuah peradaban.
Lantas bagaimana dengan generasi muslim kita?.
Peradaban Islam kita.?
Temukan jawabannya pada kedalaman hati kita masing-masing.! Bagadav Gita membantu kita menemukan jawabannya dengan mengatakan bahwa manusia dibentuk dari keyakinannya, apa yang ia yakini itulah dia. Selaras dengan hadis Rasulullah yang artinya “Sesungguhnya Allah itu akan berlaku seperti sangkaan hambanya”. Ketika kita yakin pada diri sendiri dengan kemampuan yang dimiliki, dengan sendirinya sepirit kesuksesan akan tertanam dalam jiwa. Begitu pula sebaliknya. Walt Disney menambahkan, jika anda dapat memimpikannya anda pun dapat melakukannya. Maka, kata koncinya adalah yakin atas potensi yang diberikan Allah pada diri kita, lakukan yang terbaik untuk menggalinya dan berikan yang terbaik ketika mengasahnya.
Lalu tanyakan kembali keyakinan anda.! Sejauh mana anda meyakini potensi anda?.
Ada rambu-rambu yang diberikan Matta (2004) yang perlu diperhatikan ketika potensi yang dimiliki telah diketahui yakni berhati-hati dalam melakukan identifikasi diri. Jangan melakukan identifikasi diri yang salah dan jangan menilai diri sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Kita dapat belajar dari cara para khalifah zaman Abbasiyah menilai diri mereka. Mereka mengatakan:
“Saya tidak pernah bangga pada setiap prestasi yang saya capai, tapi yang sebenarnya tidak saya rencanakan. Tetapi saya juga tidak menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya”
Hal yang perlu digaris bawahi dalam ungkapan para khalifah zaman Abbasiyah di atas adalah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya. Tepat jika Jack Trout mengatakan “Tak ada satupun orang yang akan mengikuti anda jika anda tidak tahu kemana harus melangkah”. Untuk mengetahui kemana harus melangkah tentu dibutuhkan alat yang dapat membantu kita agar dapat sampai pada tujuan dan hal yang paling urgen adalah mempersiapkan diri serta menguatkan motivasi sebelum melangkah. Mengetahui arah tujuan kemana dengan jelas serta menggunakan alat-alat bantu yang dipersiapkan seperti peta dan kompas agar tidak tersesat ditengah perjalanan dan selamat sampai tujuan, dan tentunya dengan bekal motivasi yang kuat. Untuk menyelamatkan hambanya dari ketersesatan jauh sebelumnya Allah telah menyiapkan petanya yakni Al-Qur’an dan Rasulullah memberikan kompasnya berupa hadist dan tugas kitalah menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya.
Orientasi perjalanan seorang mukmin di dunia ini tentunya adalah untuk kehidupan setelah matinya. Oleh karena itu kontrol dan evaluasilah diri (muhasabah). Ustaz Annis Matta dalam buku Mencari Pahlawan Indonesia mengatakan orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Karena hidup ini begitu singkat, oleh karena itu wahai generasi muda janganlah membuatnya menjadi semakin singkat dengan melakukan sesuatu yang sia-sia. Gunakan kesempatanmu untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi ummat, kerahkan segenap kemampuamu untuk memberikan yang terbaik bagi ummat. Sesungguhnya setiap kita berpotensi menjadi sempurna, karena Allah telah membekali dengan akal dan ilmu. Dengan bekal itulah kita dapat melejitkan potensi yang kita miliki kemudian menggiringnya menuju batas maksimum dari momentum kehidupan kita agar kita menjadi manusia yang sempurna.
Manakah yang anda pilih menjadi orang biasa, ataukah menjadi sempurna?
Tidak ada manusia yang sempurna, memang itu kenyataannya. Yusuf Qardhawi menjelaskan, kesempurnaan itu ukurannya tidak bersifat kuantitatif namun bersifat psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al-Qur’sn disebut menjelang putus asa. Ukuran kesempurnaan adalah batas maksimum dari kemampuan setiap individu untuk berkembang. Maka, bergerak menuju kesempurnaan adalah bergerak menuju batas maksimum itu.
Masalahnya disini tidak banyak orang yang mau memaksimalkan potensinya karena tak sanggup menjadi sempurna padahal ia mampu melakukannya. Abu Tamam seorang penyair Arab mengatakan, tidak ada aib yang aku temukan dalam diri seorang manusia, melebihi aib orang yang sanggup menjadi sempurna, namun tidak mau menjadi sempurna.
Jika semua generasi muslim memilih menjadi orang biasa saja, yang hidupnya lebih santai bahkan nyaris tanpa beban, tanpa sorotan, tanpa stres, tanpa depresi. Lantas siapa yang akan menggerakkan peradaban, melakukan perombakan, mewujudkan perubahan?
Sebagai renungan, ustaz Annis Matta memberikan perincian mengenai orang biasa dan yang luar biasa.
Menjadi Orang biasa: merupakan godaan bagi mereka yang berpotensi menjadi luar biasa. Inilah yang membuat air kecemerlangan dalam dirinya hanya keluar dan kemudian tergenang. Dan dimanapun ada genangan air, di situ selalu ada kemungkinan pembusukan. Air itu tidak menggelombang maka tidak ada debur kehebatan dalam dirinya. Air itu tergenang teduh dan dalam keteduhannya ia tersedot oleh cahaya matahari kehidupan. Maka ia mengering dan habis. Atau ia terkotori oleh sampah yang terbuang dalam genangan itu, maka ia mengeruh dan kemudian membusuk.
Menjadi yang luar biasa (pahlawan): mereka adalah sungai yang mengalir deras atau air yang menggelombang dahsyat. Semua potensi dalam dirinya keluar satu persatu. Semua kehebatan dirinya menggelora ke permukaan bagai gelombang. Semua gelombang (potensi) dalam dirinya bertiup kencang bagai badai. Ia menantang kehidupan, maka ia mengukir sejarah sebab sejarah adalah catatan petualangan hidup. Ia mengejar dan menangkap takdirnya, maka ia mendapatkan mahkotanya.
Sekarang.
Pilihan ada di tangan anda..!
motivasi dari sahabat-sahabatku.
Mereka yang sempurna dan mulia
Adalah mereka yang diharapkan kebaikannya
Orang merasa anam dari keburukannya
Yang selalu memberi manfaat buat orang lain
Dan menjauhkan orang lain
Dari keburukan prilakunya
Kami mendoakanmu
Semoga engkaulah itu
Para pemburu syurga..
Tidak akan berhenti pada tahap mimpi
Ada asa yang harus diwujudkan
Ada pngorbanan yang harus dikeluarkan
Dan,..
Ada karya nyata yang harus dipersembahkan
Keindahan perjuangan adalah ketika kita menyadari
Akan beratnya perjuangan
Lalu,..
Menorehnya dengan pena kesabaran
Dalam lembar-lembar keikhlasan
Langganan:
Komentar (Atom)